Peristiwa Hukum

03 Juli 2014

KEBIJAKAN BANTUAN HUKUM DI INDONESIA

1. LATAR BELAKANG UU NO. 16 TAHUN 2011 TENTANG BANTUAN HUKUM
  • Negara menjamin hak konstitusional setiap orang untuk mendapatkan pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum sebagai sarana perlindungan hak asasi manusia.
  • Negara bertanggung jawab terhadap pemberian bantuan hukum bagi orang miskin sebagai perwujudan akses terhadap keadilan.
2. YANG DIMAKSUD DENGAN BANTUAN HUKUM MENURUT UU INI
    • Bantuan Hukum adalah jasa hukum yang diberikan oleh Pemberi Bantuan Hukum secara cuma-cuma kepada Penerima Bantuan Hukum.
    • Penerima Bantuan Hukum adalah orang atau kelompok orang miskin.
    • Pemberi Bantuan Hukum adalah lembaga bantuan hukum atau organisasi kemasyarakatan yang member layanan Bantuan Hukum berdasarkan Undang-Undang ini.
    • Penyelenggara Bantuan Hukum adalah Kementerian Hukum dan HAM Rl.
3. TUJUAN BANTUAN HUKUM
    • Menjamin dan memenuhi hak bagi Penerima Bantuan Hukum untuk mendapatkan akses keadilan;
    • Mewujudkan hak konstitusional segala warga negara sesuai dengan prinsip persamaan kedudukan di dalam hukum;
    • Menjamin kepastian penyelenggaraan Bantuan Hukum dilaksanakan secara merata di seluruh wilayah Negara Republik lndonesia; dan
    • Mewujudkan peradilan yang efektif , efisien, dan dapat dipertanggungjawabkan.
4. PENERIMA BANTUAN HUKUM
  • Orang miskin atau kelompok orang miskin, yaitu yang tidak dapat memenuhi hak dasar secara layak dan mandiri seperti : hak atas pangan, sandang, layanan kesehatan, layanan pendidikan, pekerjaan dan berusaha, dan/atau perumahan.
5. HAK PENERIMA BANTUAN HUKUM
Penerima Bantuan Hukum berhak:
  • mendapatkan Bantuan Hukum hingga masalah hukumnya selesai dan/atau perkaranya telah mempunyai kekuatan hukum tetap, selama Penerima Bantuan Hukum yang bersangkutan tidak mencabut surat kuasa;
  • mendapatkan Bantuan Hukum sesuai dengan Standar Bantuan Hukum dan/atau Kode Etik Advokat; dan
  • mendapatkan informasi dan dokumen yang berkaitan dengan pelaksanaan pemberian Bantuan Hukum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
6. KEWAJIBAN PENERIMA BANTUAN HUKUM
Penerima Bantuan Hukum wajib:
  • menyampaikan bukti, informasi, dan/atau keterangan perkara secara benar kepada Pemberi Bantuan Hukum;
  • membantu kelancaran pemberian Bantuan Hukum.
7. TUGAS KEMENTERIAN HUKUM DAN HAM R.I DALAM IMPLEMENTASI UU INI
  • Menyusun dan menetapkan kebijakan penyelenggaraan Bantuan Hukum;
  • Menyusun dan menetapkan Standar Bantuan Hukum berdasarkan asas-asas pemberian Bantuan Hukum;
  • Menyusun rencana anggaran Bantuan Hukum;
  • Mengelola anggaran Bantuan Hukum secara efektif, efisien, transparan, dan akuntabel; dan
  • Menyusun dan menyampaikan laporan penyelenggaraan Bantuan Hukum kepada Dewan Perwakilan Rakyat pada setiap akhir tahun anggaran.
8. KEWENANGAN MENTERI HUKUM DAN HAM R.I MENURUT UU BANTUAN HUKUM INI
    • Mengawasi dan memastikan penyelenggaraan Bantuan Hukum dan pemberian Bantuan Hukum dijalankan sesuai asas dan tujuan yang ditetapkan dalam Undang-Undang ini; dan
    • Menetapkan panitia verifikasi serta melakukan verifikasi dan akreditasi terhadap lembaga bantuan hukum atau organisasi kemasyarakatan untuk memenuhi kelayakan sebagai Pemberi Bantuan Hukum berdasarkan Undang-Undang ini.
PROSEDUR BANTUAN HUKUM
A. SYARAT DAN TATA CARA PEMBERIAN BANTUAN HUKUM
 1. PERSYARATAN PEMBERI BANTUAN HUKUM
    • berbadan hukum;
    • terakreditasi;
    • memiliki kantor atau sekretariat yang tetap;
    • memiliki pengurus, dan
    • memiliki program Bantuan Hukum.
2. JENIS LAYANAN BANTUAN HUKUM
Pemberian Bantuan Hukum meliputi :
Litigasi dan non litigasi
Meliputi masalah hukum:
    • keperdataan;
    • masalah hukum pidana; dan
    • masalah hukum tata usaha negara.
3. SYARAT-SYARAT PERMOHONAN BANTUAN HUKUM
mengajukan permohonan secara tertulis yang berisi sekurang-kurangnya identitas pemohon dan uraian singkat mengenai pokok persoalan yang dimohonkan Bantuan Hukum;
    • menyerahkan dokumen yang berkenaan dengan perkara; dan
    • melampirkan surat keterangan miskin dari lurah, kepala desa, atau pejabat yang setingkat di tempat tinggal pemohon Bantuan Hukum.
4. TATA CARA PERMOHANAN
    • Pemohon Bantuan Hukum mengajukan permohonan Bantuan Hukum secara tertulis kepada Pemberi Bantuan Hukum.
    • Permohonan paling sedikit memuat:
– identitas Pemohon Bantuan Hukum; dan
– uraian singkat mengenai pokok persoalan yang dimintakan Bantuan Hukum,

  • Permohonan Bantuan Hukum harus dilampiri:
  • – surat keterangan miskin dari lurah, kepala desa, atau pejabat yang setingkat di tempat tinggal Pemohon Bantuan Hukum; dan
  • – dokumen yang berkenaan dengan perkara.

5. IDENTITAS PEMOHON
    • Identitas Pemohon Bantuan Hukum dibuktikan dengan kartu tanda penduduk dan/atau dokumen lain yang dikeluarkan oleh instansi yang berwenang.
    • Dalam hal Pemohon Bantuan Hukum tidak memiliki identitas, Pemberi Bantuan Hukum membantu Pemohon Bantuan Hukum dalam memperoleh surat keterangan alamat sementara dan/atau dokumen lain dari instansi yang berwenang sesuai domisili Pemberi Bantuan Hukum.
6. SURAT KETERANGAN MISKIN
    • Dalam hal Pemohon Bantuan Hukum tidak memiliki surat keterangan miskin, Pemohon Bantuan Hukum dapat melampirkan Kartu Jaminan Kesehatan Masyarakat, Bantuan Langsung Tunai, Kartu Beras Miskin, atau dokumen lain sebagai pengganti surat keterangan miskin.
    • Jika sama sekali tidak memiliki, Pemberi Bantuan Hukum membantu Pemohon Bantuan Hukum dalam memperoleh persyaratan tersebut.
7. INSTANSI TERKAIT
    • Instansi yang berwenang sesuai domisili Pemberi Bantuan Hukum wajib mengeluarkan surat keterangan alamat sementara dan/atau dokumen lain untuk keperluan penerimaan Bantuan Hukum.
    • Lurah, kepala desa, atau pejabat yang setingkat sesuai domisili Pemberi Bantuan Hukum wajib mengeluarkan surat keterangan miskin dan/atau dokumen lain sebagai pengganti surat keterangan miskin untuk keperluan penerimaan Bantuan Hukum.
8. JIKA PEMOHON BUTA HURUF
    • Pemohon Bantuan Hukum yang tidak mampu menyusun permohonan secara tertulis dapat mengajukan permohonan secara lisan.
    • Dalam hal Permohonan Bantuan Hukum diajukan secara lisan, Pemberi Bantuan Hukum menuangkan dalam bentuk tertulis.
    • Permohonan tersebut ditandatangani atau dicap jempol oleh Pemohon Bantuan Hukum.
9. BATAS WAKTU PERMOHONAN
    • Pemberi Bantuan Hukum wajib memeriksa kelengkapan persyaratan dalam waktu paling lama 1 (satu) hari kerja setelah menerima berkas permohonan Bantuan Hukum.
    • Dalam hal permohonan Bantuan Hukum telah memenuhi persyaratan, Pemberi Bantuan Hukum wajib menyampaikan kesediaan atau penolakan secara tertulis atas permohonan dalam waktu paling lama 3 (tiga) hari kerja sejak permohonan dinyatakan lengkap.
    • Dalam hal Pemberi Bantuan Hukum menyatakan kesediaan, Pemberi Bantuan Hukum memberikan Bantuan Hukum berdasarkan surat kuasa khusus dari Penerima Bantuan Hukum.
    • Dalam hal permohonan Bantuan Hukum ditolak, Pemberi Bantuan Hukum wajib memberikan alasan penolakan secara tertulisdalam waktu paling lama 3 (tiga) hari kerja sejak permohonan dinyatakan lengkap.
10. JANGKA WAKTU PEMBERIAN BANTUAN HUKUM
Pemberian Bantuan Hukum oleh Pemberi Bantuan Hukum kepada Penerima Bantuan Hukum diberikan hingga masalah hukumnya selesai dan/atau perkaranya telah mempunyai kekuatan hukum tetap, selama Penerima Bantuan Hukum tersebut tidak mencabut surat kuasa khusus.
11. PERAN PARALEGAL, DOSEN DAN MAHASISWA
    • Pemberian Bantuan Hukum secara litigasi dilakukan oleh advokat yang berstatus sebagai pengurus Pemberi Bantuan Hukum dan/atau advokat yang direkrut oleh Pemberi Bantuan Hukum.
    • Dalam hal jumlah advokat yang terhimpun dalam wadah Pemberi Bantuan Hukum tidak memadai dengan banyaknya jumlah Penerima Bantuan Hukum, Pemberi Bantuan Hukum dapat merekrut paralegal, dosen, dan mahasiswa fakultas hukum.
    • Dalam melakukan pemberian Bantuan Hukum, paralegal dosen, dan mahasiswa fakultas hukum harus melampirkan bukti tertulis pendelegasian dan/atau pendampingan dari advokat.
    • Mahasiswa fakultas hukum harus telah lulus mata kuliah hukum acara dan pelatihan paralegal.
12. BANTUAN HUKUM LITIGASI
  Pemberian Bantuan Hukum secara litigasi :
    • pendampingan dan/atau menjalankan kuasa yang dimulai dari tingkat penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan;
    • pendampingan dan/atau menjalankan kuasa dalam proses pemeriksaan di persidangan; atau
    • pendampingan dan/atau menjalankan kuasa terhadap Penerima Bantuan Hukum di Pengadilan Tata Usaha Negara
13. BANTUAN HUKUM NON LITIGASI
    • Pemberian Bantuan Hukum secara nonlitigasi dapat dilakukan oleh advokat, paralegal, dosen, dan mahasiswa fakultas hukum dalam lingkup Pemberi Bantuan Hukum yang telah lulus verifikasi dan akreditasi.
    • Pemberian Bantuan Hukum Secara nonlitigasi meliputi kegiatan
– penyuluhan hukum;
– konsultasi hukum;
– investigasi perkara, baik secara elektronik maupun nonelektronik;
– penelitian hukum;
– mediasi;
– negosiasi
– pemberdayaan masyarakat;
– pendampingan di luar pengadilan; dan/atau
– drafting dokumen hukum.
B. PENYALURAN DANA BANTUAN HUKUM
1. DANA PENYELENGGARAAN BANTUAN HUKUM
    • Sumber pendanaan Penyelenggaraan Bantuan Hukum dibebankan Pada APBN.
    • Selain sumber pendanaan , pendanaan dapat berasal dari :
– hibah atau sumbangan; dan/atau
– sumber pendanaan lain yang sah dan tidak mengikat.
2. PERAN DAERAH
    • Daerah dapat mengalokasikan anggaran penyelenggaraan Bantuan Hukum dalam APBD.
    • Daerah melaporkan penyelenggaraan Bantuan Hukum yang sumber pendanaannya berasal dari APBD kepada Menteri dan Menteri Dalam Negeri.
    • Ketentuan lebih lanjut mengenai pengalokasian anggaran penyelenggaraan Bantuan Hukum diatur dengan Peraturan Daerah.
3. PEMBIAYAAN BANTUAN HUKUM
    • Pemberian Bantuan Hukum per perkara atau per kegiatan hanya dapat dibiayai dariAPBN atau APBD.
    • Pendanaan pemberian Bantuan Hukum per perkara atau per kegiatan dari hibah atau bantuan lain yang tidak mengikat dapat diberikan bersamaan dengan sumber dana dari APBN atau APBD.
    • Tata cara penganggaran dan pelaksanaan Anggaran Penyelenggaraan Bantuan Hukum dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
4. PENGAJUAN ANGGARAN
    • Pemberi Bantuan Hukum mengajukan Rencana Anggaran Bantuan Hukum kepada Menteri pada Tahun Anggaran sebelum Tahun Anggaran pelaksanaan Bantuan Hukum.
    • Pengajuan Rencana Anggaran Bantuan Hukum paling sedikit memuat:
    • – identitas Pemberi Bantuan Hukum;
    • – sumber pendanaan pelaksanaan Bantuan Hukum, baik yang bersumber dari APBN        maupun nonAPBN; dan
    • – rencana pelaksanaan Bantuan Hukum litigasi dan nonlitigasi sesuai dengan misi dan      tuiuan Pemberi Bantuan Hukum.
    • Dalam hal Pemberi Bantuan Hukum mengajukan Rencana Anggaran Bantuan Hukum nonlitigasi, Pemberi Bantuan. Hukum harus mengajukan paling sedikit 4 (empat) kegiatan dalam satu Paket dari kegiatan.
5. PERJANJIAN PELAKSANAAN BANTUAN HUKUM
Pemberi Bantuan Hukum melaksanakan Bantuan Hukum litigasi dan nonlitigasi sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Perjanjian Pelaksanaan Bantuan Hukum dan ketentuan peraturan perundang-undangan.
6. REIMBURSEMENT LITIGASI
    • Penyaluran dana Bantuan Hukum litigasi dilakukan setelah Pemberi Bantuan Hukum menyelesaikan perkara pada setiap tahapan proses beracara dan Pemberi Bantuan Hukum menyampaikan laporan yang disertai dengan bukti pendukung.
    • Tahapan proses beracara merupakan tahapan penanganan Perkara dalam:
    • – kasus pidana, meliputi penyelidikan, penyidikan, dan persidangan di pengadilan            tingkat I, persidangan tingkat banding, persidangan tingkat kasasi, dan Peninjauan      kembali;
    • – kasus perdata, meliputi upaya perdamaian atau putusan pengadilan tingkat I,              putusan pengadilan tingkat banding, putusan pengadilan tingkat kasasi, dan              Peninjauan kembali; dan
    • – kasus tata usaha Negara, meliputi pemeriksaan pendahuluan dan putusan                  pengadilan tingkat I, putusan pengadilan tingkat banding, putusan pengadilan tingkat kasasi, dan peninjauan kembali.
    • Penyaluran dana Bantuan Hukum dihitung berdasarkan prosentase tertentu dari tarif per perkara sesuai standar biaya pelaksanaan Bantuan Hukum litigasi.
    • Penyaluran dana Bantuan Hukum pada setiap tahapan proses beracara tidak menghapuskan kewajiban Pemberi Bantuan Hukum untuk memberikan Bantuan Hukum sampai dengan perkara yang ditangani selesai atau mempunyai kekuatan hukum tetap.
7. REIMBURSEMENT NON LITIGAS
    • Penyaluran dana Bantuan Hukum nonlitigasi dilakukan setelah Pemberi Bantuan Hukum menyelesaikan paling sedikit satu kegiatan dalam paket kegiatan nonlitigasi dan menyampaikan laporan yang disertai dengan bukti pendukung.
    • Penyaluran dana Bantuan Hukum dihitung berdasarkan tarif per kegiatan sesuai standar biaya pelaksanaan Bantuan Hukum nonlitigasi.
8. KLARIFIKASI TAGIHAN
    Menteri berwenang melakukan pengujian kebenaran tagihan atas penyelesaian                     pelaksanaan Bantuan Hukum sebagai dasar penyaluran dana Bantuan Hukum litigasi dan     nonlitigasi.
C. PERTANGGUNG-JAWABAN BANTUAN HUKUM
1. PERTANGGUNG-JAWABAN KEUANGAN
    • Pemberi Bantuan Hukum wajib melaporkan realisasi pelaksanaan anggaran Bantuan Hukum kepada Menteri secara triwulanan, semesteran, dan tahunan.
    • Dalam hal Pemberi Bantuan Hukum menerima sumber pendanaan selain dari APBN, Pemberi Bantuan Hukum melaporkan realisasi penerimaan dan penggunaan dana tersebut kepada Menteri.
    • Laporan realisasi penerimaan dan penggunaan dana selain dari APBN dilaporkan secara terpisah dari laporan realisasi pelaksanaan anggaran Bantuan Hukum.
2. LAPORAN REALISASI

  • Untuk perkara litigasi, laporan realisasi harus dilampiri paling sedikit:
  • – salinan putusan perkara yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap; dan
  • – perkembangan perkara yang sedang dalam proses penyelesaian.
  • untuk kegiatan nonlitigasi, laporan realisasi harus dilampiri laporan kegiatan yang telah dilaksanakan.
3. PENGELOLAAN ADMINISTRASI
Pemberi Bantuan Hukum mengelola secara tersendiri dan terpisah administrasi keuangan pelaksanaan Bantuan Hukum dari administrasi keuangan organisasi Pemberi Bantuan Hukum atau administrasi keuangan lainnya.
4. LAPORAN MENTERI
Menteri menyusun dan menyampaikan laporan realisasi penyelenggaraan Bantuan Hukum kepada Dewan Perwakilan Rakyat pada setiap akhir tahun anggaran.
D. PENGAWASAN PELAKSANAAN BANTUAN HUKUM
1. PENGAWASAN BANTUAN HUKUM
  • Menteri melakukan pengawasan pemberian Bantuan Hukum dan penyaluran dana Bantuan Hukum.
  • Pengawasan oleh Menteri dilaksanakan oleh unit kerja yang tugas dan fungsinya terkait dengan pemberian Bantuan Hukum Pada Kementerian.
2. UNIT KERJA PENGAWAS
Unit kerja dalam melaksanakan pengawasan mempunyai tugas:
  • melakukan pengawasan atas pemberian Bantuan Hukum dan penyaluran dana Bantuan Hukum;
  • menerima laporan pengawasan yang dilakukan oleh panitia pengawas daerah;
  • menerima laporan dari masyarakat mengenai adanya dugaan penyimpangan pemberian Bantuan Hukum dan penyaluran dana Bantuan Hukum;
  • melakukan klarifikasi atas adanya dugaan penyimpangan pemberian Bantuan Hukum dan penyaluran dana Bantuan Hukum yang dilaporkan oleh panitia pengawas daerah dan/atau masyarakat,
  • mengusulkan sanksi kepada Menteri atas terjadinya penyimpangan pemberian Bantuan Hukum dan/atau penyaluran dana Bantuan Hukum; dan
  • Membuat laporan pelaksanaan pengawasan kepada Menteri.
3. PANITIA PENGAWAS DAERAH
    • Menteri dalam melakukan pengawasan di daerah membentuk panitia pengawas daerah.
    • Panitia pengawas daerah terdiri atas wakil dari unsur:
– Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia; dan
– biro hukum pemerintah daerah provinsi.

  • Panitia pengawas daerah mempunyai tugas:
  • – melakukan pengawasan pemberian Bantuan Hukum dan Penyaluran dana Bantuan Hukum;
  • – membuat laporan secara berkala kepada Menteri melalui unit kerja yang tugas dan fungsinya terkait dengan pemberian Bantuan Hukum pada Kementerian;
  • – mengusulkan sanksi kepada Menteri atas terjadinya penyimpangan pemberian Bantuan Hukum dan/atau penyaluran dana Bantuan Hukum melalui unit kerja yang tugas dan fungsinya terkait dengan pemberian Bantuan Hukum Pada Kementerian.

4. MUSYAWARAH PANITA PENGAWAS DAERAH
    • Panitia Pengawas daerah dalam mengambil keputusan mengutamakan prinsip musyawarah.
    • Dalam hal musyawarah tidak tercapai, keputusan diambil berdasarkan suara terbanyak.
    • Menteri atas usul pengawas dapat meneruskan temuan penyimpangan pemberian Bantuan Hukum dan penyaluran dana Bantuan Hukum kepada instansi yang berwenang untuk ditindaklanjuti sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
E. MEKANISME KOMPLAIN
1. MEKANISME KOMPLAIN
  • Dalam hal Penerima Bantuan Hukum tidak mendapatkan haknya sesuai dengan ketentuan Pasal 12 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum, Penerima Bantuan Hukum dapat melaporkan Pemberi Bantuan Hukum kepada Menteri, induk organisasi Pemberi Bantuan Hukum, atau kepada instansi yang berwenang.
2. ADVOKAT PENGGANTI
  • Dalam hal advokat Pemberi Bantuan Hukum litigasi tidak melaksanakan pemberian Bantuan Hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 sampai dengan perkaranya selesai atau mempunyai kekuatan hukum tetap, Pemberi Bantuan Hukum wajib mencarikan advokat pengganti.
F. SANKSI-SANKSI
1. SANKSI PELANGGARAN
    • Dalam hal ditemukan pelanggaran pemberian Bantuan Hukum oleh Pemberi Bantuan Hukum kepada Penerima Bantuan Hukum, Menteri dapat: membatalkan perjanjian pelaksanaan Bantuan Hukum;
    • menghentikan pemberian Anggaran Bantuan Hukum; dan/atau
    • tidak memberikan Anggaran Bantuan Hukum pada tahun anggaran berikutnya.
    • Dalam hal Menteri membatalkan perjanjian, Menteri menunjuk Pemberi Bantuan Hukum lain untuk mendampingi atau menjalankan kuasa Penerima Bantuan Hukum.
G. VERIFIKASIIAKREDITASI ORGANISASI BANTUAN HUKUM
1. VERIFIKASI/AKREDITASI
    • verifikasi adalah pemeriksaan atas kebenaran laporan dan dokumen yang diserahkan oleh Lembaga/organisasi bantuan hukum kemasyarakatan.
    • Akreditasi adalah penilaian dan pengakuan terhadap Lembaga/organisasi bantuan hukum kemasyarakatan yang akan memberikan bantuan hukum yang berupa klasifikasi/penjenjangan dalam pemberian bantuan hukum.
2. JANGKA WAKTU VERIFIKASI/AKREDITASI
    • Verifikasi dan Akreditasi dilakukan setiap 3 (tiga) tahun terhadap:
    • Lembaga/organisasi bantuan hukum yang member layanan Bantuan Hukum; dan
    • Pemberi Bantuan Hukum.
    • verifikasi dan Akreditasi dilaksanakan dalam jangka waktu paling lama 4 (empat) bulan terhitung sejak pengumuman pendaftaran.
3. TAHAPAN VERIFIKASI/AKREDITASI
Tahapan dalam melakukan Verifikasi dan Akreditasi Pemberi Bantuan Hukum dilakukan dengan cara:
a.  pengumuman;
b.  permohonan;
c.  pemeriksaan administrasi;
d.  pemeriksaan faktual;
e.  pengklasifikasian Pemberi Bantuan Hukum; dan
f.   penetapan Pemberi Bantuan Hukum.
4. PANITIA VERIFIKASI/AKREDITASI
    • Menteri membentuk Panitia untuk melaksanakan proses Verifikasi dan Akreditasi Pemberi Bantuan Hukum.
    • Panitia Verifikasi/Akreditasi bersifat ad hoc dan independen.
    • Panitia Verifikasi/Akreditasi berkedudukan di Ibukota Negara Republik lndonesia.
    • Dalam melaksanakan tugas, panitia dibantu oleh sekretariat tim dari Badan Pembinaan Hukum Nasional dan Kantor Wilayah Kemenkumham di seluruh lndonesia.
5. SUSUNAN PANITIA VERIFIKASI/AKREDITASI
Susunan keanggotaan Panitia terdiri atas:
  • 1 (satu) orang ketua merangkap anggota yang berasal dari Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia;
  • 1 (satu) orang sekretaris merangkap anggota yang berasal dari Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia; dan
  • 5 (lima) orang anggota yang terdiri atas:
  • 2 (dua) orang yang berasal dari unsur akademisi;
  • 2 (dua) orang yang berasal dari unsur tokoh masyarakat; dan
  • 1 (satu) orang yang berasal dari unsur Lembaga/organisasi bantuan hukum.
  • Panitia bertanggung jawab kepada Menteri.
6. SYARAT SEBAGAI PANITIA VERIFIKASI/AKREDITASI
    • Untuk dapat diangkat menjadi Panitia harus memenuhi syarat sebagai berikut: warga negara lndonesia;
    • berumur paling rendah 35 (tiga puluh lima) tahun dan paling tinggi 65 (enam puluh lima) tahun;
    • berpendidikan paling rendah strata I;
    • memahami tugas dan fungsi lembaga Pemberi Bantuan Hukum; dan
    • tidak menjadi pengurus atau anggota partai politik.
Selain memenuhi syarat tersebut, bagi Panitia yang berasal dari Lembaga/organisasi bantuan hukum juga harus memenuhi syarat berpengalaman di bidang pemberian Bantuan Hukum paling singkat 2 (dua) tahun.
7. TUGAS PANITIA VERIFIKASI/AKREDITASI
    • Panitia bertugas mengumumkan pendaftaran, menyeleksi, mengevaluasi, dan menentukan kelayakan sebagai pemberi Bantuan Hukum dalam melaksanakan kegiatan Bantuan Hukum.
    • Dalam melaksanakan tugas tersebut, Panitia menerapkan prinsip koordinasi, integrasi, dan sinkronisasi.
8. RINCIAN TUGAS
     Panitia dalam melaksanakan tugasnya melakukan:
  • Pendataan Lembaga/organisasi bantuan hukum yang akan dilakukan Verifikasi dan Akreditasi;
  • pengumuman pendaftaran Verifikasi dan Akreditasi Lembaga/organisasi bantuan hukum melalui media cetak dan/atau media elektronik, dengan masa pendaftaran 15 (lima belas) hari kerja;
  • pemeriksaan administrasi;
  • pemeriksaan faktual;
  • penetapan kategori Lembaga/organisasi bantuan hukum sebagai Pemberi Bantuan Hukum;
  • penyampaian usul penetapan kategori Lembaga/organisasi bantuan hukum kepada Menteri disertai pemberlan perirmbangan kepada Menteri; dan
  • pengumuman hasil Verifikasi dan Akreditasi Lembaga/organisasi bantuan hukum.
9. PEMERIKSAAN ADMINISTRASI
 Pemeriksaan administrasi diiakukan dengan :
    • pencocokan identitas Lembaga/organisasi bantuan hukum Bantuan Hukum; dan
    • pencocokan dokumen pendirian dan akta pendirian Lembaga/organisasi bantuan hukum Bantuan Hukum; dan
    • pengecekan program pemberian Bantuan Hukum paling singkat 1 (satu) tahun sejak akta pendirian diterbitkan dengan melampirkan bukti penanganan kegiatan baik litigasi maupun nonlitigasi.
10. PEMERIKSAAN FAKTUAL
Pemeriksaan faktual dilakukan dengan :
    • pengecekan lembaga /Organisasi Bantuan Hukum telah terdaftar pada instansi pemerintah;
    • pengecekan keberadaan kantor atau kesekretariatan;
    • pengecekan kepengurusan lembaga bantuan hukum dan organisasi; dan
    • pengecekan izin atau lisensi beracara bagi advokat.
11. PENETAPAN KATEGORI
Pemberian pertimbangan berkaitan dengan Penetapan Kategori berkaitan dengan:
    • daftar Lembaga/organisasi bantuan hukum yang telah dilakukan Verifikasi dan Akreditasi kepada Menteri;
    • daftar Lembaga/organisasi bantuan hukum yang telah memenuhi persyaratan Verifikasi dan Akreditasi; dan
    • rekomendasi penetapan sebagai Pemberi Bantuan Hukum.
12. KELOMPOK KERJA PEMBANTU PANITIA VERIFIKASI/AKREDITASI
    • Dalam melaksanakan tugasnya, Panitia dibantu oleh kelompok kerja.
    • Kelompok kerja tersebut dilaksanakan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional dan dipimpin oleh 1 (satu) orang ketua yang dijabat oleh pejabat eselon 2 yang mempunyai tugas di bidang Bantuan Hukum.
    • Di daerah, dibantu oleh Kanwil Kementerian Hukum dan HAM RI
    • Kelompok kerja dibentuk dan bertanggung jawab kepada Ketua Panitia.
    • Kelompok kerja tersebut bertugas memberikan dukungan teknis, operasional, dan administrasi kepada Panitia.
13. PENGUMUMANVERIFIKASI/AKREDITASI
    • Menteri mengumumkan pelaksanaan Verifikasi dan Akreditasi bagi Lembaga/organisasi bantuan hukum yang berminat menjadi Pemberi Bantuan Hukum.
    • Pengumuman dimuat dalam media cetak, media elektronik dan website resmi Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.
    • Pengumuman paling sedikit memuat: waktu dimulai dan berakhirnya pendaftaran;
    • persyaratan yang harus dipenuhi oleh Lembaga/ organisasi bantuan hukum; dan
    • waktu pelaksanaan Verifikasi dan Akreditasi.
14. PERMOHONAN VERIFIKASI/AKREDITASI
Lembaga/organisasi bantuan hukum yang mengajukan permohonan Verifikasi dan Akreditasi sebagai Pemberi Bantuan Hukum harus memenuhi syarat:
a.  berbadan hukum;
b.  memiliki kantor atau sekretariat yang tetap;
c.  memiliki pengurus;
d.  memiliki program Bantuan Hukum;
e.  memiliki advokat yang terdaftar pada lembaga bantuan hukum atau Organisasi; dan
f.   paling sedikit menangani 10 (sepuluh) kasus per tahun.
15. PENGAJUAN PERMOHONAN
  • Permohonan Verifikasi dan Akreditasi diajukan kepada Menteri secara: – elektronik; atau nonelektronik.
  • Permohonan secara elektronik dilakukan dengan mengisi aplikasi pada website resmi Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.
  • Permohonan secara nonelektronik dilakukan dengan mengisi formulir dan disampaikan melalui Kepala Badan Pembinaan Hukum. Nasional.
16. KELENGKAPAN SYARAT PERMOHONAN
Permohonan Verifikasi dan Akreditasi baik secara elektronik maupun non-elektronik harus dilengkapi dengan :
  • fotokopi salinan akta pendirian Lembaga/organisasi bantuan hukum;
  • fotokopi anggaran dasar dan anggaran rumah tangga;
  • fotokopi akta pengurus Lembaga/organisasi bantuan hukum;
  • fotokopi surat penunjukan sebagai advokat pada Lembaga/organisasi bantuan hukum;
  • fotokopi surat izin beracara sebagai advokat yang masih berlaku;
  • fotokopi dokumen mengenai status kantor Lembaga/organisasi bantuan hukum;
  • fotokopi Nomor Pokok Wajib Pajak Lembaga/organisasi bantuan hukum;
  • laporan pengelolaan keuangan; dan
  • program Bantuan Hukum yang akan dan yang telah dilakukan.
17. PEMBERITAHUAN PELAKSANAAN VERIFIKASI/AKREDITASI
    • Permohonan yang telah memenuhi persyaratan dan dinyatakan lengkap dilakukan Verifikasi dan Akreditasi.
    • Pemberitahuan Pelaksanaan Verifikasi dan Akreditasi disampaikan Secara tertulis kepada Lembaga/organisasi bantuan hukum mengenai waktu Verifikasi dan Akreditasi.
18. PEMBERITAHUAN KELENGKAPAN PERSYARATAN
    • Dalam hal kelengkapan persyaratan belum lengkap, Panitia memberitahukan secara tertulis kepada Lembaga/organisasi bantuan hukum untuk melengkapi Persyaratan.
    • Lembaga/organisasi bantuan hukum dalam jangka waktu paling lama 14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak tanggal surat pemberitahuan diterima, harus melengkapi kelengkapan persyaratan.
    • Dalam hal Lembaga atau organisasi tidak menyampaikan kelengkapan persyaratan, permohonan Verifikasi dan Akreditasi dinyatakan ditolak.
19. BADAN HUKUM
    • Syarat berbadan hukum dibuktikan dengan surat keputusan pengesahan badan hukum oleh Menteri.
    • Bagi Lembaga/organisasi bantuan hukum yang berada dalam struktur lembaga pendidikan atau organisasi yang sudah berstatus badan hukum, maka Lembaga/organisasi bantuan hukum dimaksud sudah berstatus sebagai badan hukum.
    • Lembaga/organisasi bantuan hukum yang belum memenuhi syarat badan hukum tetap dapat dilakukan Verifikasi dan Akreditasi.
    • Bagi Lembaga/organisasi bantuan hukum yang belum memenuhi syarat badan hukum sebagaimana dimaksud tetap berkewajiban untuk memenuhi persyaratan sebagai badan hukum sampai dengan berakhirnya tahapan Verifikasi dan Akreditasi paling lambat 2 (dua) bulan sejak pengumuman pendaftaran.
20. PEMERIKSAAN DOKUMEN AKTA PENDIRIAN OBH
    • Pemeriksaan atas salinan akta pendirian Lembaga/organisasi bantuan hukum dilakukan dengan mencocokkan salinan akta yang asli dengan melampirkan fotokopi salinan akta yang telah dilegalisir oleh instansi atau lembaga yang mengeluarkan salinan akta asli.
    • Dalam hal instansi atau lembaga yang mengeluarkan salinan akta asli tidak mempunyai kantor di kota/kabupaten setempat, legalisir dilakukan pada kepaniteraan pengadilan negeri setempat.
21. PEMERIKSAAN DOKUMEN AD/ART
Pemeriksaan atas dokumen anggaran dasar dan anggaran rumah tangga dilakukan dengan mencocokkan dokumen asli dengan melampirkan fotokopi dokumen anggaran dasar dan anggaran rumah tangga yang telah dilegalisir.
22. PEMERIKSAAN DOKUMEN KEPENGURUSAN OBH
Pemeriksaan atas kepengurusan Lembaga/organisasi bantuan hukum dilakukan dengan mencocokkan akta pengurus Lembaga/organisasi bantuan hukum yang asli dengan melampirkan fotokopi akta pengurus yang telah dilegalisir.
23. PEMERIKSAAN LEGALITAS ADVOKAT OBH
  • Pemeriksaan atas legalitas advokat pada Lembaga/organisasi bantuan hukum dilakukan dengan mencocokan surat penunjukan sebagai advokat pada Lembaga/organisasi bantuan hukum yang asli dengan melampirkan fotokopi surat penunjukan yang telah dilegalisir oleh instansi atau lembaga yang mengesahkan.
  • Pemeriksaan atas surat izin beracara sebagai advokat yang masih berlaku dilakukan dengan mencocokan surat izin beracara yang asli dengan melampirkan fotokopi surat izin beracara yang telah dilegalisir oleh instansi atau lembaga yang mengesahkan.
24. PEMERIKSAAN STATUS KANTOR
Pemeriksaan atas dokumen mengenai status kantor Lembaga/organisasi bantuan hukum dilakukan dengan pengecekan langsung ke alamat kantor dan dokumen status kantor.
25. PEMERIKSAAN FOTOKOPI NPWP
Pemeriksaan atas fotokopi Nomor Pokok Wajib Pajak Lembaga/organisasi bantuan hukum dilakukan dengan cara pengecekan langsung ke kantor pajak setempat untuk mengetahui Lembaga/organisasi bantuan hukum telah memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak.
26. PEMERIKSAAN LAPORAN KEUANGAN
Pemeriksaan atas laporan pengelolaan keuangan dilakukan dengan melaporkan pengelolaan keuangan Lembaga/organisasi bantuan hukum kepada Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional secara berkala.
27. PEMERIKSAAN RENCANA PROGRAM
Pemeriksaan atas program baik yang telah dan yang akan dilakukan untuk mengetahui Lembaga/organisasi bantuan hukum telah menyusun rencana program Bantuan Hukum dalam pemberian Bantuan Hukum.
28. KELULUSAN VERIFIKASI
    • Panitia berdasarkan hasil pemeriksaan dapat menolak atau menerbitkan sertifikasi lulus Verifikasi.
    • Pemeriksaan dilaksanakan dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak tanggal diterimanya permohonan.
    • Penolakan permohonan oleh Panitia diberitahukan kepada pemohon secara tertulis dengan disertai alas an penolakannya.
    • HasilpelaksanaanVerifikasi disampaikan kepada Menteri dengan disertai saran dan pertimbangan paling lambat 7 (tujuh) hari kerja oleh Panitia.
    • Hasil pelaksanaan Verifikasi menjadi bahan pertimbangan bagi Menteri dalam pemberian Akreditasi.
29. AKREDITASI
Lembaga/organisasi bantuan hukum yang telah lulus Verifikasi diberikan Akreditasi dengan mengklasifikasikan Lembaga/ organisasi bantuan hukum berdasarkan:
  • jumlah kasus dan kegiatan yang ditangani terkait dengan orang miskin;
  • jumlah program Bantuan Hukum nonlitigasi;
  • jumlah advokat yang dimiliki;
  • pendidikan formal dan nonformal yang dimiliki advokat dan paralegal;
  • pengalaman dalam menangani atau memberikan bantuan hukum;
  • jangkauan penanganan kasus;
  • status kepemilikan dan sarana prasarana kantor;
  • usia atau lama berdirinya Lembaga/organisasi bantuan hukum;
  • anggaran dasar dan anggaran rumah tangga;
  • laporan keuangan sesuai dengan standar akuntansi;
  • Nomor Pokok Wajib Pajak Lembaga/organisasi bantuan hukum; dan
  • jaringan yang dimiliki Lembaga/organisasi bantuan hukum.
30. KLASIFIKASI PEMBERI BANTUAN HUKUM
Hasil klasifikasi diberikan dengan mengkategorikan Pemberi Bantuan Hukum menjadi:
    • Pemberi Bantuan Hukum katagori A;
    • Pemberi Bantuan Hukum katagori B; dan
    • Pemberi Bantuan Hukum katagori C.
31. KATAGORI A
Katagori A memiliki:
  • jumlah kasus yang ditangani paling sedikit 1 (satu) tahun sebanyak 60 (enampuluh) kasus;
  • jumlah program bantuan hukum nonlitigasi paling sedikit 7 (tujuh) program;
  • jumlah advokat paling sedikii 10 (sepuluh) orang dan paralegal yang dimiliki paling sedikit 10 (sepuluh) orang;
  • pendidikan formal dan nonformal yang dimiliki advokat paling rendah strata I dan paralegal yang telah mengikuti pelatihan paralegal;
  • jangkauan penanganan kasus atau lingkup wilayah provinsi dan kabupaten/kota;
  • status kepemilikan dan sarana prasarana kanior;
  • kepengurusan lembaga;
  • anggaran dasar dan anggaran rumah tangga;
  • laporan keuangan sesuai dengan standar akuntansi;
  • Nomor Pokok Wajib Pajak Lembaga/organisasi bantuan hukum; dan
  • jaringan yang dimiliki Lembaga/organisasi bantuan hukum.
32. KATAGORI B
Katagori B memiliki:
  • jumlah kasus yang ditangani paling sedikit 1 (satu) tahun sebanyak 30 (tiga puluh) kasus;
  • jumlah program bantuan hukum nonlitigasi paling sedikit 5 (lima) program;
  • jumlah advokat paling sedikit 5 (lima) orang dan paralegal yang dimiliki paling sedikit 5 (lima) orang;
  • pendidikan formal dan nonformal yang dimiliki advokat paling rendah strata I dan paralegal yang telah mengikuti pelatihan paralegal;
  • jangkauan penanganan kasus atau lingkup wilayah provinsi dan kabupaten/kota;
  • status kepemilikan dan sarana prasarana kantor;
  • kepengurusan lembaga lengkap;
  • anggaran dasar dan anggaran rumah tangga;
  • laporan keuangan sesuai dengan standar akuntansi;
  • Nomor Pokok Wajib Pajak Lembaga/organisasi bantuan hukum; dan
  • jaringan yang dimiliki Lembaga/organisasi bantuan hukum.
33. KATAGORI C
Katagori C memiliki:
  • jumlah kasus yang ditangani paling sedikit l (satu) tahun sebanyak 10 (sepuluh) kasus;
  • jumlah program bantuan hukum nonlitigasi paling sedikit 3 (tiga) Program;
  • jumlah advokat paling sedikit 1 (satu) orang dan paralegal yang dimiliki paling sedikit 3 (tiga) orang,
  • pendidikan formal dan nonformal yang dimiliki advokat paling rendah strata I dan paralegal yang telah mengikuti pelatihan Paralegal;
  • jangkauan penanganan kasus atau lingkup wilayah provinsi dan kabupaten/kota;
  • status kepemilikan dan sarana prasarana kantor;
  • kepengurusan lembaga lengkap;
  • anggaran dasar dan anggaran rumah tangga;
  • laporan keuangan sesuai dengan standar akuntansi;
  • Nomor Pokok Wajib Pajak Lembaga/organisasi bantuan hukum; dan
  • jaringan yang dimiliki Lembaga/organisasi bantuan hukum.
34. RAPAT PANITIA
    • Panitia dalam memberikan pertimbangan kepada Menteri mengenai Lembaga/organisasi bantuan hukum yang telah terakreditasi dengan melaksanakan rapat Panitia.
    • Keputusan rapat Panitia berdasarkan musyawarah untuk mencapai mufakat.
    • Dalam hal musyawarah tidak mencapai mufakat, keputusan rapat Panitia diambil berdasarkan suara terbanyak.
35. PENETAPAN VERIFIKASI/AKREDITASI
    • Menteri menetapkan Lembaga/organisasi bantuan hukum yang telah terverifikasi dan terakreditasi sebagai Pemberi Bantuan Hukum.
    • Penetapan dituangkan dalam sertifikat yang ditandatangani oleh Menteri.
    • Penetapan sebagai Pemberi Bantuan Hukum berlaku untuk jangka waktu 3 (tiga) tahun terhitung sejak tanggal ditetapkan.
    • Penetapan Pemberi bantuan hukum diumumkan melalui media cetak dan/atau media elektronik.
36. SERTIFIKAT VERIFIKASI/AKREDITASI
    • Sertifikat Verifikasi/Akreditasi berlaku untuk jangka waktu 3 (tiga) tahun dan dapat diperpanjang.
    • Pengajuan permohonan perpanjangan sertifikasi dapat dilakukan paling lambat 2 (dua) bulan sebelum berakhirnya masa berlaku sertifikat.
    • Pengajuan permohonan perpanjangan dianggap sebagai permohonan untuk dilakukan Verifikasi dan Akreditasi kembali.
37. PENCABUTAN SERTIFIKAT
    • Sertifikat Verifikasi/Akreditasi dapat dicabut jika Pemberi Bantuan Hukum melanggar ketentuan peraturan Perundang-undangan.
    • Pencabutan sertifikat Verifikasi/Akreditasi dilakukan oleh Menteri.
    • Pemberi Bantuan Hukum yang dicabut sertifikatnya dapat mengajukan keberatan kepada Menteri dengan disertai alasan dan bukti yang kuat.
38. LAPORAN KEUANGAN
  • Lembaga/organisasi bantuan hukum wajib melaporkan hibah, sumbangan, dan/atau sumber pendanaan lain yang sah dan tidak mengikat yang telah dimiliki pada saat permohonan Verifikasi dan Akreditasi.
  • Hibah, sumbangan, dan/atau sumber pendanaan lain yang sah dan tidak mengikat dicantumkan, dalam rencana Program Bantuan Hukum.
  • Format rencana program Bantuan Hukum tercantum dalam Lampiran Peraturan Menteri.

PERKEMBANGAN BANTUAN HUKUM DAN TANGGUNG JAWAB NEGARA

James Gordley dan Mauro Cappeleti (1975) mencatat bahwa bantuan hukum lahir dari sikap kedermawanan sekelompok elit gereja terhadap pengikut-pengikutnya. Konsep bantuan hukum tersebut membangun suatu pola hubungan klien dan patron, di mana pemberian bantuan hukum lebih banyak tergantung kepada kepentingan patron yaitu patron ingin melindungi kliennya.
Sehingga, bantuan hukum ditafsirkan hanya sebagai bantuan (charity) saja bukan hak. Kemudian dalam perkembangannya, bantuan hukum tidak lagi bersifat charity, melainkan sudah menjadi hak. Bahkan kemudian bantuan hukum sudah menjadi suatu gerakan sosial, kondisi tersebut terjadi tidak hanya di negara-negara maju akan tetapi juga terjadi di negara-negara berkembang.

Dari segi konsep bantuan hukum mengalami pergeseran yaitu dari individu ke bantuan hukum yang sifatnya struktural. Dari istilah, juga bantuan hukum mengalami perkembangan yaitu dari istilah legal assistance menjadi legal aid. Istilah legal aid selalu dihubungkan dengan orang miskin yang tidak mampu membayar advokat, sementara legal assistance adalah pelayanan hukum dari masyarakat  advokat kepada masyarakat mampu dan tidak mampu. Untuk konteks Lembaga Bantuan Hukum (LBH) istilah yang tepat adalah legal aid karena memang kerja-kerja LBH selalu dihubungkan dengan orang miskin secara ekonomi dan buta hukum.

Pada masa pemerintahan Hindia Belanda, istilah bantuan hukum dikenal di dalam pasal  250 HIR(Het Herziene Inlands Reglement). Menurut pasal ini, advokat diminta bantuan hukumnya apabila ada permintaan dari orang yang dituduh serta diancam dengan hukuman mati. Dengan demikian pasal 250 HIR tidak mewajibkan advokat untuk memberikan bantuan hukum kepada orang yang dituduh atau diancam hukuman mati.  Pasal 250 HIR tersebut, juga lebih ditujukan kepada mereka yang bergolongan kewarganegaraan Eropa/Belanda, pasal ini sarat dengan warna unsur diskriminasi rasial.

Selepas masa kolonialisme, beberapa ketentuan hukum positif mulai memperkenalkan istilah dan makna bantuan hukum seperti Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). KUHAP mengatur bantuan hukum di dalam pasal 54 sampai dengan pasal 56. Undang-Undang (UU) Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman No.4 Tahun 2004 khususnya pasal 37 sampai dengan pasal 39. 

Pasal 37 UU No.4 Tahun 1999 menjelaskan bahwa setiap orang yang bersangkut dengan perkara berhak memperoleh bantuan hukum, sementara pasal 38 menjelaskan tentang dalam perkara pidana seseorang tersangka sejak saat dilakukan penangkapan dan/atau penahanan berhak menghubungi dan meminta bantuan advokat. Pasal 39 malah mempertegas kewajiban advokat untuk memberikan bantuan hukum dengan menjunjung tinggi hukum dan keadilan.

Antara KUHAP dengan UU No. 4 Tahun 2004 tidak ada perbedaan yang mendasar dalam hal memberikan bantuan hukum. Namun UU ini lebih mempertegas peranan advokat untuk memberikan bantuan hukum. Undang-Undang No. 4 Tahun dan KUHAP tidak mengatur dan menjelaskan tentang bagaimana peranan negara/pemerintah untuk mendukung hak atas bantuan hukum tersebut. Begitu juga dalam Undang-Undang Advokat. UU ini hanya menjelaskan tentang bantuan hukum dalam konteks profesi advokat, dan pengaturan teknis tentang bantuan hukum akan diatur dengan peraturan pemerintah (pp).

Dari aspek konsep, bantuan hukum juga mengalami perkembangan seiring dengan kondisi social dan politik. Ada konsep bantuan hukum konvensial-tradisional dan konsep bantuan hukum konstitusional serta bantuan hukum struktural.  Konsep bantuan hukum konvensional adalah pelayanan hukum yang diberikan kepada masyarakat miskin secara individual. Sifat bantuan hukum tradisional ini sangat pasif dan pendekatannya sangat formal legalistik. Pasif dalam arti menunggu klien atau masyarakat untuk mengadukan permasalahannya tanpa peduli atau responsif terhadap kondisi hukum, sementara legalistic formal dalam arti melihat permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat atau klien hanya dalam perspektif hukum saja.
         
Konsep bantuan hukum konvensional-tradisional mendapatkan kritik dari para penganut paham konstitusionalisme, maka lahirlah konsep bantuan hukum konstitusional. Konsep bantuan hukum konstitusional lebih diilhami oleh pemikiran negara hukum (rule of law), yang unsur-unsurnya antara lain hukum dijadikan panglima (supreme of law) dan penghormatan hak azasi manusia. Rule of law mewarnai aktivitas-aktivitas bantuan hukum konstitusional, yang antara lain  berupa (i) Penyadaran hak-hak masyarakat miskin sebagai subyek hukum; dan (ii) Penegakan dan pengembangan nilai-nilai HAM sebagai sendi utama tegaknya negara hukum.

Konsep bantuan hukum konstitusional lebih progresif dibandingkan konsep bantuan hukum konvensional-tradisional. Ini terlihat dari konsep bantuan konstitusional yang tidak hanya ditujukan kepada individu, akan tetapi juga ditujukan kepada anggota masyarkat secara kolektif. Dalam melakukan pembelaan terhadap klien, advokat tidak hanya menggunakan jalur litigasi saja, juga menggunakan pendekatan mediasi dan jalur politik. Konsep bantuan hukum konstitusional harus dipahami lahir seiring dengan munculnya pemerintahan orde baru, yang mana di awal pemerintahan orde baru mengkampanyekan supremasi hukum walaupun akhirnya gagal.

Dalam perkembangannya, konsep bantuan hukum konstitusional mendapatkan kritik dari ilmuan sosial. Ilmuan sosial lebih melihat bahwa konsep bantuan hukum konstitusional belumlah menembus permasalahan dasar yang dihadapi masyarakat miskin di Indonesia. Bentuk bantuan hukum konstitusional hanyalah cara pandang kelas menengah di Indonesia seperti akademisi, advokat, atau mahasiswa  terhadap permasalahan sosial di Indonesia. 

Setelah konsep bantuan hukum konstitusional, maka lahirlah konsep bantuan hukum struktural. Konsep bantuan hukum struktural erat kaitannya dengan kemiskinan struktural, ilmuwan sosial sering menyebut istilah kemiskinan struktural dengan kemiskinan buatan karena memang sengaja orang dibuat atau dilegalkan untuk menjadi miskin baik secara ekonomi, informasi maupun akses untuk berpartisipasi dalam setiap kebijakan pemerintah atau negara.

Konsep bantuan hukum struktural lahir sebagai konsekwensi dari pemahaman kita terhadap hukum. Realitas yang kita hadapi adalah adalah produk dari proses-proses sosial yang terjadi di atas pola hubungan tertentu di antara infrastruktur masyarakat yang ada. Hukum sebenarnya merupakan superstruktur yang selalu berubah dan merupakan hasil interaksi antar infrastruktur masyarakat.  Oleh karena itu,  selama pola hubungan antar infrastruktur menunjukan gejala yang timpang maka hal tersebut akan mempersulit terwujudnya hukum yang adil (Adnan Buyung Nasution:1981).

Dengan demikian aktivitas bantuan hukum merupakan rangkaian program melalui jalur hukum dan non-hukum  yang diarahkan bagi perubahan pada hubungan yang menjadi dasar kehidupan social menuju pola hubungan yang lebih sejajar. Dalam pembelaan masyarakat, konsep bantuan hukum struktural tidak hanya ditujukan terhadap kasus-kasus individual, akan tetapi juga diprioritaskan terhadap kasus-kasus kolektif.
         
Konsep bantuan hukum struktural yang kemudian mengilhami kerja-kerja kantor-kantor Lembaga Bantuan Hukum (LBH) di seluruh Indonesia. Sudah jelas bahwa kerja-kerja bantuan hukum struktural lebih ditujukan kepada masyarakat miskin yang buta hukum dan tidak mampu secara ekonomi, dan bukan ditujukan terhadap masyarakat yang sudah memahami hukum dan mempunyai kapasitas ekonomi yang cukup. Sehingga tidak perlu lagi ada pertanyaan, apakah seorang artis terkenal atau kelas menengah yang mempunyai kapasitas ekonomi dan intelektual yang cukup harus diberikan bantuan hukum oleh LBH ?

Bantuan Hukum Dan Tanggungjawab  Negara
Antara bantuan hukum dan negara mempunyai hubungan yang erat, apabila bantuan hukum dipahami sebagai hak maka dipihak lain negara mempunyai kewajiban untuk pemenuhan hak tersebut. Pasal 14 Kovenan Hak Sipil Dan Politik Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menjelaskan bahwa setiap orang berhak atas jaminan bantuan hukum jika kepentingan keadilan menghendaki demikian. Untuk pemenuhan hak tersebut, menurut pertimbangan  Kovenan PBB tadi mewajibkan negara untuk memajukan penghormatan universal dan ketaatan terhadap HAM dan kebebasan. Kewajiban tersebut antara lain berupa kewajiban untuk menghormati (to respect), kewajiban untuk memenuhi (to fulfill),dan kewajiban untuk melindungi (to protect). Kewajiban tersebut termasuk kewajiban untuk melindungi, memenuhi dan menghormati hak atas bantuan hukum.

Atas dasar argument tersebut, sudah jelas negara mempunyai kewajiban dan --yang paling penting adalah --implementasi dari kewajiban tersebut. Tidak ada jaminan hukum untuk mewajibakan negara untuk menghormati,melindungi dan memenuhi hak atas bantuan hukum terhadap masyarakat. Padahal tersebut merupakan suatu yang penting untuk menjamin akses masyarakat terhadap keadilan (acces to justice).  Sayang, UU No.4 Tahun 2004 dan KUHAP tidak secara tegas atau nyata-nyata menyebutkan negara mempunyai tanggungjawab untuk menghormati, memenuhi dan melindungi hak atas bantuan hukum.

Akses masyarakat untuk mendapatkan keadilan akan terhambat, apabila negara mengabaikan tanggungjawabnya untuk memenuhi,menghormati dan melindungi hak atas bantuan hukum. Bantuan hukum tidak boleh dipahami sebagai sebuah program pemerintah  untuk meraih simpati masyarakat miskin, tetapi harus betul-betul dipahami sebagai suatu hak disatu pihak dan kewajiban dipihak lain. Jaminan hukum hak atas  bantuan hukum merupakan suatu yang urgent, jaminan hukum tersebut memang idealnya setingkat dengan UU bukan Peraturan Pemerintah (PP) seperti yang akan direncanakan selama ini.

Uli Parulian Sihombing, Direktur LBH Jakarta/Alumni FH Univ. Jenderal Sudirman dan Faculty Of Political Sciences Chulalongkorn University Bangkok Thailand
http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol10932/perkembangan-bantuan-hukum-dan-tanggungjawab-negara-