Peristiwa Hukum

27 Juni 2009

"SIKAP MASYARAKAT KORBAN TERHADAP PEMILU "


Pemilihan umum calon legislatif baru saja usai. Rakyat yang berkedudukan sebagai objek perolehan suara bagi para caleg sebagai actor-actris politikus untuk menuju gedung DPR, gedung yang punya predikat para wakil rakyat untuk berkiprah atas nama rakyat. Berbagai macam cara untuk mengail hak pilih rakyat antara lain dengan bagi-bagi sembako, bagi-bagi pupuk, bagi-bagi duit, bahkan janji-janji memperhatikan tuntutan rakyat setempat dan yang lebih hebat lewat suatu proses bagi-bagi BLT kepada orang-orang miskin. Dipihak lain bagi mereka yang tidak terpilih untuk menjadi anggota legislative ada yang mendadak sakit syaraf, ada pula yang minta duitnya dikembalikan dan yang tragis ada yang bunuh diri disebabkan dana yang digunakan hasil pinjaman. Belum lagi kasus DPT (daftar pemilih tetap) yang terjadi di beberapa daerah sehingga menimbulkan kesan partai pemenang dan sedang berkuasa bermain curang .

Kondisi pemilihan umum yang berdampak carut-marut itu berpredikat sebagai pemilu paling reseh dibandingkan pemilihan sebelumnya. Belum lagi mereka yang GOL-PUT mencapai jumlah 35% dari jumlah yang memiliki hak untuk memilih . Mereka terdiri dari generasi muda progresif dan kelompok yang setia kepada UUD-1945 . Sebentar lagi pemilihan capres-cawapres akan dimulai, bila tidak ada halangan tgl 8 juli 2009. Dengan tampilan sebagai calon adalah No.1. Mega-Prabowo, 2. SBY-Berbudi, 3. JK-Wiranto, akan bertarung memperebutkan kursi Kepresidenan masa bakti th.2009 s/d 2014.

Bagi masyarakat KORBAN/RAKYAT baik sipil maupun ekosob, sesuai hasil kongres Pejuang HAM yang diselenggarakan pada tanggal 20 Maret 2009 di Depok, mengamanatkan :

1. Jadikan penguatan dan konsolidasi gerakan rakyat/korban pelanggaran HAM sebagai jalan keluar untuk memperkuat daya kritis,daya control dan tawar politik yang bermakna .

2. Jangan pilih caleg, parpol, dan capres/cawapres pelaku pelanggar HAM, pelindung pelanggar HAM, atau yang tidak punya agenda HAM .

3. Pilih caleg, parpol, capres/cawapres yang pro HAM dan pro Rakyat, serta jangan mudah percaya pada janji mereka yang tidak punya jejak rekam keberpihakan terhadap korban/rakyat.

4. Rakyat yang memilih golput, untuk menjadi golput yang kritis dan aktif mengorganisir diri, serta melakukan pendidikan politik .

5. Negara harus memenuhi kewajibanya untuk menuntaskan berbagai masaalah pelanggaran berat HAM & memenuhi hak-hak dasar rakyat pada sisa waktu pemerintahannya.

Tentunya masyarakat korban, sesuai dengan amanat yang tertulis diatas, haruslah mencermati, mendengar, serta mengambil keputusan secara tepat diiringi kesadaran penuh. Tidak larut oleh janji-janji, wacana-wacana, dari propaganda capres/cawapres. Menarik untuk dibaca dan dipelajari apa yang ditulis oleh B.Herry Priyono; artikel (kompas; kamis 23 Mei 2009). Istilah neo-liberalisme yang kini dipakai tidak berasal dari paket kebijakan yang disebut Konsensus Washington. Ia telah dipakai untuk menyebut watak rezim Augusto Pinochet yang berkuasa di Cile th.1973-1990, yaitu: Watak idelogis hasil kolusi kediktatoran dan ekonomi pasar bebas dalam coraknya yang extrim. Ketika rezim kediktatoran mulai surut di kawasan Amerika-Latin; Neo-Liberalisme dipakai untuk menyebut ideologi pasar bebas.

Sedangkan di Indonesia Neo-lib, lahir, tumbuh dan berkembang paska terjadinya peristiwa tragedi 1965-1966, saat Jenderal Suharto berkuasa penuh setelah menjatuhkan pemerintahan Ir. Soekarno lewat sidang MPRs 1967, yang sebelumnya diawali dengan pembantaian massal anggota Partai Komunis Indonesia serta penangkapan terhadap anggota organisasi yang dianggap underbouw PKI seperti; Pemuda Rakyat, Gerwani, SOBSI, PGRI non vak sentral, HSI, CGMI, dan IPPI serta anggota BAPERKI.

Menurut Jenderal Sarwo Eddy, komandan RPKAD (resimen para komando angkatan darat) telah terbantai sejumlah dua juta orang dan menurut keterangan Jenderal Try Sutrisno selaku pimpinan BAKORSTRANAS menyatakan bahwa ada anggota PKI dan simpatisannya yang ditahan di seluruh Indonesia tanpa lewat pengadilan selama 10 th. s/d 15 th. Tempat pembuangan yang diketahui oleh masyarakat Internasional termasuk lembaga Palang Merah Internasional antara lain P.Nusakambangan dan P.BURU di Maluku dan beberapa tempat di seluruh Indonesia, yang merupakan pelanggaran berat terhadap HAM yang hingga saat ini tidak pernah mendapatkan respon pemerintah R.I bahkan cenderung untuk dilupakan, serta lebih melihat kemasa depan.

Legalisasi praktek kejahatan rezim militerisme Jenderal Suharto bahwa PKI telah melakukan ‘coup dengan melakukan pembunuhan terhadap tujuh Jenderal oleh tentara yang menamakan dirinya Dewan Revolusi di bawah pimpinan LetKol. Untung. Sementara berdasarkan pengakuan Kolonel Latif salah seorang pimpinan Dewan Revolusi mengatakan sebelumnya operasi itu dilaksanakan dia datang menghadap kepada May.Jen Suharto yang saat itu berada RS PAD Gatot Subroto. Jenderal Suharto mengetahui dan mengerti akan ada gerakan itu dan bahkan menurut penuturan Kol. Latif; “Jenderal Suharto akan memberikan bantuan berupa pasukan sejumlah tiga batalyon dari KOSTRAD “,.

Dan peristiwa tragedi berdarah itu sangat menggugah para ilmuan sosiolog maupun sejarah baik dalam dan luar negeri melakukan penelitian karena pembantaian yang di luar perikemanusiaan sepanjang sejarah kehidupan modern. Dan sudah banyak buku-buku yang telah diterbitkan tentang sejarah berdarah itu,serta telah terdokumentasi di Komnas HAM dan lembaga lainnya. Begitu pula nasibnya Bung KARNO, yang ditahan dan dikucilkan tanpa boleh dijenguk oleh sahabatnya maupun oleh keluarganya kecuali atas ijin Jenderal Suharto sendiri. Di sebuah rumah yang bernama Wisma YASO, hingga wafatnya tanpa memperoleh pelayanan secara memadai dan manusiawi sebagai seorang yang telah memberikan pengabdiannya kepada Nusa dan Bangsa. Anehnya sekarang ini, malah kejahatan tirani Suharto hendak disejajarkan dengan Bung KARNO yang dibunuhnya, yang oleh kroni-kroni rezim orde-baru hendak dilupakan kejahatannya, yang telah berhasil mengkonsolidasi diri, dengan menggunakan baju nasionalisme .

Rezim orde-baru untuk mengukuhkan kekuasaannya lalu melakukan pembersihan di semua lembaga negara terhadap orang-orang yang dianggap simpatisan PKI ataupun orang-orang yang dianggap loyal terhadap Bung Karno. Selanjutnya tirani Suharto memboyong rekan-rekannya semasa di SESKOAD (bekas para dosennya) para ekonom liberal untuk menjadi ASPRI (asisten presiden) yang diberi tugas kusus untuk membangun perekonomian. Dengan semboyan ; “Ekonomi Yes, Politik NO “, kemudian para ekonom itu merancang pembangunan PELITA demi PELITA dengan alasan bahwa rezim Soekarno telah mengabaikan pembangunan ekonomi yang diperlukan oleh rakyat. Keran bagi investor pun dibuka lebar-lebar, hingga berduyun-duyunlah investor asing masuk ke Indonesia yang sebelumnya tabu bagi pemerintahan Soekarno .

Kita tentu tidak mau menutup mata, bahwa pembangunan jalan raya tol, pelabuhan-pelabuhan dermaga kapal laut dan pesawat terbang, sentra-sentra industri, gedung-gedung pencakar langit, perumahan serta industri pertambangan, yang menyedot tenaga kerja bermunculan dengan megahnya. Akan tetapi pertanyaannya kemudian, apakah semua itu rakyat merasa memiliki dan rakyat memperoleh keuntungan dari semua itu ?

Proyek neo-liberalisme sungguh sangat menyilaukan mata, sehingga menempatkan Indonesia sebagai Negara yang pertumbuhan ekonominya masuk dalam daftar termaju di Asia, dengan perolehan perkapita $US. 2500,-. Memang rakyat memperoleh pekerjaan, akan tetapi siapakah yang memperoleh keuntungan dari pembangunan itu, tentunya para corporate global itu bersama birokrat militer dan sipil. Dan rakyat cukup menjadi kuli di negerinya sendiri tanpa masa depan yang jelas . Saat badai krisis melanda Asia,dan berimbas ke Indonesia siapa pertama-tama yang menjadi korban tentunya rakyat pekerja. Bangunan neoliberal itu rontok, tirani Jenderal Suharto goyah, dia ditinggalkan sebagian konco-konco setianya, saat gerakan reformasi melanda kekuasaannya, menyebabkan Jenderal Suharto lengser keprabon dari singgasana kekuasaannya. Memang begitulah nasib seorang boneka, saat masih baru ditimang-timang, dimanja-manja setelah bau apeknya mulai menyengat ia ditinggalkan merana.

Dalam masa peralihan dari pemerintahan militer ke pemerintahan sipil, telah terjadi pergantiaan penguasa dari tahun 1998 hingga tahun 2009 ini mulai dari pemerintahan B.J Habibie, Gus Dur, Megawati, SBY-JK, tanpa perubahan sistem struktur pemerintahan. Dari sistim pemerintahan pro pasar bebas kepada pro kesejahteraan rakyat, yang terjadi dilapangan adalah;

1. Rakyat dijadikan budak tenaga kerja bagi kepentingan kaum modal.

2. Sumber kekayaan alam Indonesia dikeruk bagi kepentingan industri perusahaan asing.

3. Penghianatan terhadap mukadimah UUD – 1945 berlangsung terus hingga masa depan rakyat bertamba gelap.

Peralihan dari pemerintahan neo liberal militer ke pemerintahan neo liberal sipil diciptakan secara alami, tanpa gejolak. Hal ini disebabkan sistim pasar bebas sedang mengalami krisis financial di pusat kekuasaannya AS dan EROPA yang mempengaruhi sistim secara global. Tentunya bagi Indonesia imbasnya walaupun tidak separah Negara lain, terasa juga terutama bagi perusahaan-perusahaan yang memiliki hubungan dengan perusahaan jasa keuangan Lehman Brothers yang sedang kolaps. Untuk membangun kembali proyek neoliberal yang terhenti itu, dengan pengalaman krisis th. 1997 serta menyesuaikan perubahan politik luar negeri AS di bawah pemerintahan Obama, maka langgam-kerjanya pun berubah. Untuk keperluan itulah maka SBY-Berbudi menggandeng Partai yang beraliran fundamentalis agama tertentu.

Hal itulah sesungguhnya yang perlu diketahui oleh kita para korban/rakyat tertindas, untuk tidak menitipkan nasib kita kepada orang lain. Kita harus segera mengkonsolodasikan diri agar kita memiliki kekuatan sendiri sehingga mempunyai kekuatan tawar yang berdaya-guna sehingga perjuangan kita berhasil sesuai keadilan yang kita tuntut. Oleh karena itu, kita para korban baik sipol maupun ekosob harus bersatu padu, jangan mudah terpecah belah oleh keinginan subjektif .

Ekonomi kerakyatan yang kita dengar dari propaganda para capres/cawapres sesungguhnyapun tidak jelas, padahal kita sama-sama ketahui, bahwa mereka bagian dari rezim berkuasa dahulu. Harapan nasip kita korban/rakyat tertindas diserahkan kepada mereka, yang jelas jemelas pelaku pelanggar HAM kepada kita atau membiarkan terjadi pelanggaran itu terjadi. Kondisi situasi menjelang capres/cawapres telah terjadi dengan apa yang dinamakan disloyalitas demokrasi; penolakan explisit terhadap legitimasi sistim demokrasi, diantaranya diwujudkan dengan penggunaan kekuasaan, kekuatan, kecurangan atau cara illegal lainnya dan tidak segan menarik militer. Dan lainnya semi loyalitas demokrasi; perilaku tidak loyal kepada komitmen demokrasi, atau terputus-putus dan melemah, sebagai salah satu contoh; banyak dikalangan kader /anggota partai yang loncat pagar .

Oleh karena itu apakah kita para korban/rakyat tertindas membiarkan diri kita dibelenggu oleh pembodohan yang terus menerus sehingga kita tidak mau keluar dari himpitan itu. Tentunya kita harus mengatakan ; TIDAK !!!. Korban harus bersatu, memperjuangkan nasibnya sendiri. Bersatu kita teguh, bercerai kita lumpuh. Nasib para korban janganlah diserahkan kepada orang lain.

Wassalam
Jakarta, Juni 2009
Penulis

Effendi Saleh
Peserta Kongres
Pejuang HAM - Depok
Anggota Luar Biasa PBHI Jakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar