Pemilihan umum calon legislatif baru saja usai. Rakyat yang berkedudukan sebagai objek perolehan suara bagi para caleg sebagai actor-actris politikus untuk menuju gedung DPR, gedung yang punya predikat para wakil rakyat untuk berkiprah atas nama rakyat. Berbagai macam cara untuk mengail hak pilih rakyat antara lain dengan bagi-bagi sembako, bagi-bagi pupuk, bagi-bagi duit, bahkan janji-janji memperhatikan tuntutan rakyat setempat dan yang lebih hebat lewat suatu proses bagi-bagi BLT kepada orang-orang miskin. Dipihak lain bagi mereka yang tidak terpilih untuk menjadi anggota legislative ada yang mendadak sakit syaraf, ada pula yang minta duitnya dikembalikan dan yang tragis ada yang bunuh diri disebabkan dana yang digunakan hasil pinjaman. Belum lagi kasus DPT (daftar pemilih tetap) yang terjadi di beberapa daerah sehingga menimbulkan kesan partai pemenang dan sedang berkuasa bermain curang .
Bagi masyarakat KORBAN/RAKYAT baik sipil maupun ekosob, sesuai hasil kongres Pejuang HAM yang diselenggarakan pada tanggal 20 Maret 2009 di Depok, mengamanatkan :
1. Jadikan penguatan dan konsolidasi gerakan rakyat/korban pelanggaran HAM sebagai jalan keluar untuk memperkuat daya kritis,daya control dan tawar politik yang bermakna .
2. Jangan pilih caleg, parpol, dan capres/cawapres pelaku pelanggar HAM, pelindung pelanggar HAM, atau yang tidak punya agenda HAM .
3. Pilih caleg, parpol, capres/cawapres yang pro HAM dan pro Rakyat, serta jangan mudah percaya pada janji mereka yang tidak punya jejak rekam keberpihakan terhadap korban/rakyat.
5. Negara harus memenuhi kewajibanya untuk menuntaskan berbagai masaalah pelanggaran berat HAM & memenuhi hak-hak dasar rakyat pada sisa waktu pemerintahannya.
Tentunya masyarakat korban, sesuai dengan amanat yang tertulis diatas, haruslah mencermati, mendengar, serta mengambil keputusan secara tepat diiringi kesadaran penuh. Tidak larut oleh janji-janji, wacana-wacana, dari propaganda capres/cawapres. Menarik untuk dibaca dan dipelajari apa yang ditulis oleh B.Herry Priyono; artikel (kompas; kamis 23 Mei 2009). Istilah neo-liberalisme yang kini dipakai tidak berasal dari paket kebijakan yang disebut Konsensus
Sedangkan di Indonesia Neo-lib, lahir, tumbuh dan berkembang paska terjadinya peristiwa tragedi 1965-1966, saat Jenderal Suharto berkuasa penuh setelah menjatuhkan pemerintahan Ir. Soekarno lewat sidang MPRs 1967, yang sebelumnya diawali dengan pembantaian massal anggota Partai Komunis Indonesia serta penangkapan terhadap anggota organisasi yang dianggap underbouw PKI seperti; Pemuda Rakyat, Gerwani, SOBSI, PGRI non vak sentral, HSI, CGMI, dan IPPI serta anggota BAPERKI.
Legalisasi praktek kejahatan rezim militerisme Jenderal Suharto bahwa PKI telah melakukan ‘coup dengan melakukan pembunuhan terhadap tujuh Jenderal oleh tentara yang menamakan dirinya Dewan Revolusi di bawah pimpinan LetKol. Untung. Sementara berdasarkan pengakuan Kolonel Latif salah seorang pimpinan Dewan Revolusi mengatakan sebelumnya operasi itu dilaksanakan dia datang menghadap kepada May.Jen Suharto yang saat itu berada RS PAD Gatot Subroto. Jenderal Suharto mengetahui dan mengerti akan ada gerakan itu dan bahkan menurut penuturan Kol. Latif; “Jenderal Suharto akan memberikan bantuan berupa pasukan sejumlah tiga batalyon dari KOSTRAD “,.
Dan peristiwa tragedi berdarah itu sangat menggugah para ilmuan sosiolog maupun sejarah baik dalam dan luar negeri melakukan penelitian karena pembantaian yang di luar perikemanusiaan sepanjang sejarah kehidupan modern. Dan sudah banyak buku-buku yang telah diterbitkan tentang sejarah berdarah itu,serta telah terdokumentasi di Komnas HAM dan lembaga lainnya. Begitu pula nasibnya Bung KARNO, yang ditahan dan dikucilkan tanpa boleh dijenguk oleh sahabatnya maupun oleh keluarganya kecuali atas ijin Jenderal Suharto sendiri. Di sebuah rumah yang bernama Wisma YASO, hingga wafatnya tanpa memperoleh pelayanan secara memadai dan manusiawi sebagai seorang yang telah memberikan pengabdiannya kepada Nusa dan Bangsa. Anehnya sekarang ini, malah kejahatan tirani Suharto hendak disejajarkan dengan Bung KARNO yang dibunuhnya, yang oleh kroni-kroni rezim orde-baru hendak dilupakan kejahatannya, yang telah berhasil mengkonsolidasi diri, dengan menggunakan baju nasionalisme .
Rezim orde-baru untuk mengukuhkan kekuasaannya lalu melakukan pembersihan di semua lembaga negara terhadap orang-orang yang dianggap simpatisan PKI ataupun orang-orang yang dianggap loyal terhadap Bung Karno. Selanjutnya tirani Suharto memboyong rekan-rekannya semasa di SESKOAD (bekas para dosennya) para ekonom liberal untuk menjadi ASPRI (asisten presiden) yang diberi tugas kusus untuk membangun perekonomian. Dengan semboyan ; “Ekonomi Yes, Politik NO “, kemudian para ekonom itu merancang pembangunan PELITA demi PELITA dengan alasan bahwa rezim Soekarno telah mengabaikan pembangunan ekonomi yang diperlukan oleh rakyat. Keran bagi investor pun dibuka lebar-lebar, hingga berduyun-duyunlah investor asing masuk ke
Kita tentu tidak mau menutup mata, bahwa pembangunan jalan raya tol, pelabuhan-pelabuhan dermaga kapal laut dan pesawat terbang, sentra-sentra industri, gedung-gedung pencakar langit, perumahan serta industri pertambangan, yang menyedot tenaga kerja bermunculan dengan megahnya. Akan tetapi pertanyaannya kemudian, apakah semua itu rakyat merasa memiliki dan rakyat memperoleh keuntungan dari semua itu ?
Proyek neo-liberalisme sungguh sangat menyilaukan mata, sehingga menempatkan
Dalam masa peralihan dari pemerintahan militer ke pemerintahan sipil, telah terjadi pergantiaan penguasa dari tahun 1998 hingga tahun 2009 ini mulai dari pemerintahan B.J Habibie, Gus Dur, Megawati, SBY-JK, tanpa perubahan sistem struktur pemerintahan. Dari sistim pemerintahan pro pasar bebas kepada pro kesejahteraan rakyat, yang terjadi dilapangan adalah;
1. Rakyat dijadikan budak tenaga kerja bagi kepentingan kaum modal.
2. Sumber kekayaan alam
3. Penghianatan terhadap mukadimah UUD – 1945 berlangsung terus hingga masa depan rakyat bertamba gelap.
Peralihan dari pemerintahan neo liberal militer ke pemerintahan neo liberal sipil diciptakan secara alami, tanpa gejolak. Hal ini disebabkan sistim pasar bebas sedang mengalami krisis financial di pusat kekuasaannya AS dan EROPA yang mempengaruhi sistim secara global. Tentunya bagi
Hal itulah sesungguhnya yang perlu diketahui oleh kita para korban/rakyat tertindas, untuk tidak menitipkan nasib kita kepada orang lain. Kita harus segera mengkonsolodasikan diri agar kita memiliki kekuatan sendiri sehingga mempunyai kekuatan tawar yang berdaya-guna sehingga perjuangan kita berhasil sesuai keadilan yang kita tuntut. Oleh karena itu, kita para korban baik sipol maupun ekosob harus bersatu padu, jangan mudah terpecah belah oleh keinginan subjektif .
Jakarta, Juni 2009
Penulis
Peserta Kongres
Pejuang HAM - Depok
Anggota Luar Biasa PBHI Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar